Search This Blog

Saturday, August 20, 2005

Diskusi Obat Mahal Farmasi ITB

Oleh Soichiro W.
Wed, 15 Jun 05



Seakan tak mau kalah dengan “Star Wars III”- nya George Lucas, IA-ITB Jurusan Farmasi juga meluncurkan hajatan talk show perdananya. ”Obat Murah Untuk Siapa?”. Itulah titel yang mereka usung.

Satu lagi produk anyar dari IA-ITB Jurusan Farmasi. Ga jauh-jauh kok dari dunianya. Apalagi kalo bukan sekitar obat. Iyalah. Lha, wong emang di situ habitatnya. Ga perlulah ngikutin hobi tetangga sebelah :”Orang hukum kok ngurusin kotak suara”. Botaklah kepala.

Selasa,7 juni 2005 di Hotel Sahid, tepatnya di Ruang Andrawina I, prosesi tersebut dilangsungkan. Peserta bertotal jendral 43 orang. Dari sisi jumlah, sedikit emang. Tapi dilihat dari luas ruangan yang disediakan, dah paslah. Dah klop. Panitia seakan tahu berapa peserta yang berminat dan memastikan hadir. ”Ngerti sadurunge winarah”. Mbah dukun kali,ye!

Tepat pukul 14.23, acara dimulai seiring dengan ucapan selamat datang kepada peserta dari Master Ceremony. Telah siap di kursi pembicara berturut-turut:
Ø DR.W.Bintoro Wanandi
Beliau adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia. Jabatan lain sudah tentu masih ada.

Ø Drs. Darojatun,MBA.
Salah satu jabatan beliau adalah Komisaris PT. Mustika Ratu.

Ø DR.Sukmadjaja Asyarie
Dosen Departemen Farmasi ITB. Jabatan yang lain juga masih ada.

Ø Ir. Uni Z.Lubis
Beliau ini adalah wartawan di stasiun TV7.

Ø Dra.Endang Hoyaranda,Apt.
Pada kesempatan ini punya kekuasaan penuh untuk memimpin dan memandu acara.

Acara dibumbui dengan sambutan oleh Ketua IA-ITB Jurusan Farmasi, Drs. Fuad Afdal. Dalam sambutannya beliau mengatakan bahwa talk show ini adalah salah satu saja dari sekian banyak kegiatan IA-ITB Jurusan Farmasi. Diharapkan acara seperti ini berlangsung 2 bulan sekali.


Sejurus kemudian, sang moderator memperkenalkan masing-masing pembicara. Dah tentu lengkap dengan kesibukannya saat ini. Dari perkenalan ini saja, sudah kental terasa bahwa talk show kali ini akan bermutu. Betapa tidak. Tiga orang dari 4 pembicara adalah pendekar di bidangnya. Wong Fei Hong-nya obat-obatan. Sedangkan 1 pembicara lainnya sengaja dipasang untuk menjadi oposisi. Mudah ditebak, acaranya pasti joss! Meski tanpa energy drink segala. Pasti berkelas. Anak kecil aja, tahu! Bak novel Harry Potter yang kehadirannya bikin orang gila. Percaya ga, copy-an hasil curian seri terakhirnya saja dihargai 870 juta perak. Apa ga edun!

DR.Sukmadjaja membuka paparannya dengan melemparkan opini masyarakat bahwa obat yang baik = mahal. Sedang obat murah = gak bermutu?

“Ga selalu benar opini tersebut”, ucapnya. ”Bermutu nggaknya obat tuh tergantung banyak hal. Zat aktif adalah salah satunya”, tambahnya.

Juga disampaikan betapa melimpahnya bahan baku obat di Indonesia. Tetapi sayang, produksi obatnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara yang miskin bahan baku seperti Korea Selatan.

Khusus untuk obat tradisional, Indonesia adalah surganya. Namun baru 5 buah jamu yang berhasil lolos uji klinis. Jumlah itu sangat jauh bila dibandingkan negara China yang sudah meloloskan ratusan jenis jamu. Maka jangan heran kalo di kanan kiri Anda terdapat Koh Sinshe dengan ratusan resep jamu. Mo singset? Mo tambah padet dan berisi? Semua ada.

Tentang harga, banyak keadaan yang mempengaruhi. Jangan tanya mengenai perbedaan biaya di rumah sakit swasta dengan negeri. Nggak perlu tambah bengek setelah melihat jumlah tagihan rawat inap di rumah sakit swasta.

Menutup uraiannya, DR.Sukmadjaja memberikan gambaran harga obat generik dibanding produk ber-branded keluaran pabrik PMA. Untuk ampicilin, generik berharga 244 perak per tablet. Sedang keluaran pabrik PMA ber-branded bisa mencapai 1200 perak per tablet.

Untaian paparan DR.Sukmadjaja kental dengan aroma akademisnya. Terasa banget farmasisnya. Iyalah. Maklum, beliau khan ahli farmasi? Emang dah seharusnya gitu khan? Yang ahli farmasi, ya bau obat. Yang sipil, bau semen. Yang elektro, bau gosong. Yang aneh tuh, ahli hukum bau tinta!

Di saat pembicara kedua mulai membuka makalah, aroma pedagang begitu menyengat. Menyeruak ke sekeliling ruang. Menusuk-nusuk hidung bagai lebah berebut madu. Aroma ruangan berubah dari wangi Axe menjadi bau duit. Aroma apek khas duit menguasai atmosfer Andrawina I. Harap maklum, kali ini yang berpidato adalah Ketua Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, DR.Biantoro Wanandi. Oooo…..pantesan aja.

Sebagai pembuka, beliau mengutarakan bahwa masalah pengobatan adalah masalah semua negara. Nggak negara maju macem Jerman atau negara miskin kayak Indonesia. Terkecuali negara komunis seperti Kuba.

“Obat di Indonesia mahal?” tanyanya.

Tergantung persepsi. Tergantung siapa yang diajak ngomong. Mahal tidaknya tergantung daya beli. Buat Si Miskin, harga obat batuk 3.000 perak per tablet mungkin mahal sekali. Tapi buat yang gajinya 10 juta per bulan, itu mah harga WC sekali kencing.

Lebih lanjut disampaikan pula bahwa harus dibedakan antara harga obat dengan biaya pelayanan kesehatan. Dengan isi resep yang sama, biaya di rumah sakit terkenal akan berbeda dengan biaya di rumah sakit kelas melati. Bahkan mungkin dengan dokter yang sama sekalipun. Mengapa? Ya, jelaslah. Kasur rumah sakit terkenal tuh kalo kesenggol bokong : “Juuuuussssssh!” Laen kalo di kelas cethek, pasti: ”Grubyaaak!”.

Harga obat adalah partial only. Biaya pelayanan kesehatan tergantung banyak faktor:

v Registrasi
v Konsultasi
v Tindakan Medis
v Laboratorium
v Dll

Jadi, bisa saja yang bikin mahal itu bukan obatnya, tapi pengiringnya. Kayak kalo nongkrong di Plasa Senayan. Kopinya sich sama dengan yang di warteg pinggir jalan. Yang bikin mahal tuh…..itunya,bo!

Lebih lanjut, DR.Wanandi mengemukakan bahwa quality = price. Untuk memperoleh kualitas obat yang baik perlu melewati banyak tahapan:

Ø Good Manufacturing Practice
Ø Bio Availability,Bio Equivalent
Ø Quality Formulation
Ø Good distribution Practice
Ø Good Pharmacy Practice
Ø Quality of Row Material

Dengan begitu jelas bahwa untuk memperoleh mutu yang bagus perlu biaya besar. Pada akhirnya, ya harga obat jadi mahal. Simpel, kok.

Untuk mengatur harga obat di pasaran, beberapa saran disampaikan DR.Wanandi:

v Kampanye pemakaian obat generik
v BUMN harus memproduksi obat yang bersubsidi
v Membuat kebijakan nasional tentang obat
v Asuransi kesehatan

Pembicara berikutnya adalah Komisaris PT. Mustika Ratu (Pemegang Lisensi Miss Universe di Indonesia), Drs.Darojatun, MBA. Sssst……ngomong-omong, apa Artika Sari Dewi finalis Miss Universe di Bangkok juga make obat murah, ya?

Mengawali ceramahnya, Drs.Darojatun,MBA mengutarakan bahwa masalah obat erat sekali dengan masalah ekonomi berikut:

Ø Jumlah keluarga miskin
Ø Jumlah pengangguran
Ø Angka kematian dan angka kesakitan

Apabila data tersebut tersedia, maka akan dapat dijadikan rujukan mengenai tingkat pembiayaan yang lebih efisien baik asuransi dan kebijakan yang lain. Masalah utama adalah daya beli masyarakat yang rendah. Konsumsi belanja obat orang Indonesia adalah $US 9 per tahun per orang. Paling rendah di ASEAN.

Pengendalian harga dapat dilakukan dengan:

v Pembuatan UU kesehatan
v Kerjasama pemerintah dengan industri farmasi untuk mengendalikan harga
v Intervensi pemerintah untuk nurunin harga
v Mendorong untuk meresepkan obat murah
v Insentif pajak terhadap pabrik farmasi

Pembicara paling bontot adalah Ir. Uni Zulfian Lubis. Jebolan Pertanian IPB, Bogor. Saat ini aktif sebagai wartawan stasiun TV7. Lain dari yang lain. Beliau bukan orang obat-obatan atau semacamnya. Kali ini memerankan korban yang terjajah oleh harga obat.

Banyak uneg-uneg yang yang ditumpahkan. Beliau mengutarakan banyak hal mulai dari pelitnya dokter memberi penjelasan sampai kesengajaan berbagai kalangan agar obat tetap menjadi mahal.

Setumpuk masalah yang disoroti beliau. Berikut ini diantaranya:

Ø Dokter ga ngasih kesempatan kepada pasien untuk bertanya
Ø Dokter ngasih obat segunung
Ø Apa harga obat bisa turun?
Ø Gimana struktur harga obat?
Ø Siapa yang harus ngejelasin tentang obat?
Ø Dokter menjadi penjual obat dari pabrik farmasi
Ø Public Campaigne obat murah harus dilakukan

Menanggapi uneg-uneg di atas, DR.Sukmadjaja menambahkan bahwa di kawasan ASEAN, harga obat di Indonesia masih termasuk murah. Tetapi di Asia, harga kalah murah dibanding India, China, Pakistan. Indonesia masih mengimport bahan baku obat sampai 95%. Harga obat bisa murah kalau ada asuransi dan subsidi.

DR.Wanandi menuturkan bahwa memang benar kegiatan dokter dibiayai oleh pabrik obat. Seminar. Konggres. Tamasya. Dan thethek bengek lainnya. Jadi,wajar kalau pabrik obat minta timbal baliknya dengan menjadikan dokter sebagai tenaga penjual tak kentara. Menjadi tenaga marketing “Uka-Uka” ato “Dunia Lain”. Pedagang yang 7 kali lipat o’onnya dari Oneng pun pasti akan melakukan hal yang serupa. Mosok,lu aja yang enak! Sekedar info, marketing cost itu bisa mencapai 30 % biaya produksi.

Menanggapi keluhan Ir. Uni Lubis, Drs.Darojatun, MBA mengatakan bahwa sakit adalah sesuatu yang tak diinginkan sehingga jadi beban. Nah, di sinilah pasien ga punya nilai tawar. Sehingga hanya bisa pasrah. Pasrah. Dan pasrah.

Satu setengah jam lebih para pembicara membeberkan pendapatnya. Kini tibalah giliran peserta untuk unjuk gigi.

Oh, iya. Selama acara berlangsung, panitia menyediakan kue-kue. Ada kroket isi daging yang “Uenak tuenan!”. Dan satu lagi….apaan ya? Yang jelas bukan singkong gorengnya Mang Udin samping Sarinah. Lumayan deh untuk ganjal perut. Bagi yang mau ngopi, dipersilakan. Juga teh panas. Cukuplah untuk mencegah peserta megap-megap kehausan.

“Itu doang pengganjal perutnya?” Hush! Ini khan cuma acara intern Alumni Farmasi ITB.
“Tapi iklannya khan ke mana-mana?”
“Au - ah gelap!”

Lima penanya mencurahkan keluh kesahnya:

v Mbok iyao memberi usulan pembahasan obat kepada pemerintah
v Kenapa obat dibiarkan ngikutin pasar? Bukannya nyontoh Kuba yang bisa mengendalikan harga obat di dalam negerinya.
v Kenapa obat mahal?
v Dokter dan apotek punya ‘udang di balik batu’
v Bahan baku baik masih import. Apa industri dalam negeri ga bisa bikin?

Atas keluhan tersebut, pembicara menyampaikan alur perjalanan obat dari pabrik sampai ke tangan konsumen:

Ø Raw material (Import 95%)
Ø Production (Alat mahal)
Ø Marketing (Biaya tinggi)
Ø Distribution (Jalur panjang)
Ø Price
Ø RetailJelaslah mengapa harga obat jadi mahal.

Mengenai contoh Kuba, DR.Wanandi balik bertanya mampu ga pemerintah meng-handle ribuan jenis obat. Kalo satu masalah seperti bensin, masih bisalah. Di negara komunis, harga obat sudah termasuk dalam pajak sehingga murah bahkan gratis.

Mengenai raw material yang import, hal ini disebabkan belum adanya good will dan policy dari pemerintah. Sebenarnya kalo mau, pemerintah tinggal bilang ” Turun!”. Pasti turun,kok. Kurangnya minat tuk ngolah raw material disebabkan investasinya yang panjang dan return-nya lama. Pedagang yang ketularan penyakitnya Oneng saja yang mau ngejalanin!

Pada sesi penutup, moderator mendaulat Direktur Produksi Indofarma, Drs. Yuliarti. R. Merati untuk memberikan wejangan. Dalam wejangannya beliau mengatakan bahwa emang benar bahwa Indofarma adalah pabrik obat terbesar di Indonesia. Sehingga punya daya saing yang tinggi dengan pabrik lain. Sebelum era otonomi daerah, semua kebutuhan obat yang ngatur adalah pemerintah pusat. Tapi sekarang tiap daerah diberi kebebasan dalam membeli obat.

Jaman dulu Indofarma ibarat piaraan di Taman Safari yang selalu dilindungi dan dimanja. Tapi saat ini, Indofarma dilepas dalam belantara yang gelap bak malam tak berbintang. Lebih parah lagi, sesama BUMN saling cakar. Oleh karena itu dibutuhkan peran pemerintah untuk menginisiasi BUMN agar bersatu.


Dengan berakhirnya wejangan Drs. Rahayu R. Merati, berakhir pula hajatan kali ini. Acara ditutup dengan pemberian cindera mata dari panitia. Segenap peserta meninggalkan ruangan yang tenang membisu seribu basa. Mungkin masih ada segudang pertanyaan di kepala peserta. Ada yang puas. Setengah puas. Setengah pening. Tiga perempat bingung. Setengah mateng. Ato….

Yang sangat terasa, sepertinya tema acara hari itu harus dipermak abis. Itu-tuh biar kayak “SWAN’”nya Amrik. Yang pesek jadi mancung. Yang tepos menjelma jadi montok. Yang kendor kembali kenceng. Demikian juga dengan tema,seharusnya: ”Ada ga sich obat murah ?”

Abis, dari awal hingga akhir acara, ga ada ceritanya obat itu murah. Yang ada hanya mahal. Mahal. Dan mahal. Boro-boro nanya untuk siapa. Obatnya yang murah aja kagak muncul.

Tak terasa Hotel Sahid telah tertinggal jauh di belakang. Ga tahu persis kenapa kepala pusing banget. Perasaan tuh ga ada masalah dengan diri ini. Istri juga ga teriak-teriak memproklamirkan siapa Bapak dari anak yang di rumah. Istri yang di rumah khan bukan model? Tak mau ambil resiko, mampirlah diri ini ke dokter umum seberang jalan. Pemeriksaan selesai.

“Berapa,Dok?”

“Empat ratus lima puluh ribu”

“Wadoooowwwwww! Mana obat murahnya? Pusiiiiingng!

*) Naskah diambil dari website Ikatan Alumni ITB --www.ia-itb.com

2 comments:

Anonymous said...

hihihi

lucu..
iyah2...

jadi penasaran ama farmasi...

smangad!

stesle said...

z7o95u4a26 i3c64g1n55 g1a31m0g48 i5e61f9h95 g7b35e5b21 s5f94s4o34