Search This Blog

Monday, August 08, 2005

Sumber Anonim






MAJALAH GATRA dan nara sumber adalah dua sosok yang tak mungkin dipisahkan. Nara sumber butuh kami untuk menyampaikan gagasannya. Tanpa nara sumber, GATRA juga tak bisa terbit. Dari merekalah, barangkali termasuk Anda, kami mendapat berbagai informasi yang layak muat. Setiap pekan, kami menghubungi sekitar 200 nara sumber.

Sebagian minta jati dirinya disimpan rapat-rapat. Dalam bahasa resmi kami, mereka adalah ''sumber berita dengan derajat kerahasiaan tinggi''. Semua informasi itu, baik dari anonim maupun yang ''terang-benderang'', kami terima.

Tak semuanya bisa menjadi berita yang tercetak. Sejumlah standar dasar kelayakan GATRA harus dipenuhi. Di antaranya: cakupan peristiwanya luas, hangat, menyangkut kepentingan publik. Setelah rapat memutuskan bahwa informasi awal itu memenuhi standar kelayakan, kami memasuki tahap paling penting: verifikasi berita.
*****
''Tugas utama jurnalistik adalah menyampaikan kebenaran. Tugas pokok jurnalis adalah memverifikasi semua informasi yang ia terima.'' Itu adalah kalimat yang bisa dijumpai dalam buku ''The Elements of Journalism'', tulisan Bill Kovach dan Tom Rosentiell (Crown Publishers, New York, 2001).

Buku dua jurnalis senior itu kami santap sejak 2002. Tulisannya memperkuat apa yang selama ini jadi pegangan di pelatihan internal. Dengan verifikasi, kami berupaya keras agar informasi yang kami sampaikan adalah sesuatu yang benar. Sehingga, kepentingan publik akan informasi akurat dan terpercaya, terjaga.

Verifikasi menjadi sangat penting, karena nara sumber anonim punya motif beragam. Ada yang murni untuk kepentingan publik, ada pula yang lantaran persaingan politik, atau sekadar mengetes reaksi publik terhadap sebuah rencana. Selain itu, dengan mengijinkan munculnya si anonim, artinya kami siap mengambil alih tanggung jawab bila terjadi tuntutan hukum.

Kasus itu sudah banyak terjadi. Misalnya, Washington Post vs TNI, Tempo vs Tomy Winata, dan Sriwijaya Post vs ZA Maulani. Di luar dugaan, GATRA, yang selama ini berupaya sangat berhati-hati, masuk daftar. Kami digugat Wakil Kepala Badan Intelijen Nasional, As’ad Said Ali, atas berita edisi 24 tanggal 30 April 2005.

Kami berterima kasih kepada sejumlah pihak yang bersimpati. Di antaranya, Dewan Pers, Aliansi Jurnalis Independen, Persatuan Wartawan Indonesia, serta sejumlah rekan pengacara. Karena perkara ini sudah bergulir ke pengadilan, kami juga menunjuk pengacara, yakni M. Luthfie Hakim dan Partners.

Luthfie tak asing bagi kami. Ia pernah aktif di kantor pengacara Adnan Buyung Nasution, dan juga salah seorang pengacara Abubakar Baasyir. Luthfie dibantu asistennya, Sonny Mertakusuma, dan Andhesa Erawan.

Di internal, kami memverifikasi ulang berita bermasalah itu. Ternyata, si anonim tak punya bukti cukup. Belakangan ia menarik informasinya. Demi kejujuran, kami harus mengoreksi berita yang telah kami turunkan. Iklan permintaan maaf kami dapat Anda lihat di GATRA edisi ini. Kami pun melakukan pembenahan internal.
*****
Kami memperketat syarat munculnya sumber anonim. Sejumlah ''harus'' kami syaratkan. Ia musti orang di lingkaran pertama peristiwa. Karena itu, ''menurut yang saya dengar'' kini tak laku lagi. Info macam begini, dalam istilah bergurau di tempat kami, ''buang aje ke laut''. Ucapannya harus didukung dokumen cukup. Motivasinya membeberkan informasi adalah demi kepentingan publik. Bila identitasnya diungkap, keselamatannya terancam.

Katharine Graham, salah satu perintis The Washington Post, dalam memoarnya ''Personal History'' (Random House, New York, 1997) menulis perlunya asas kehati-hatian dalam liputan dengan nara sumber anonim. ''Editor harus menanganinya lebih dari berita dengan nara sumber biasa. Informasinya harus didukung pihak lain independen. Setiap kata yang akan dicetak harus dibaca lebih dari seorang editor senior.''

Sebagian asas kehati-hatian itu kami adopsi. Informasi si anonim harus dicek ulang kepada pihak lain independen. Kami juga membuat perjanjian: bila informasi yang terlanjur kami siarkan belakangan terbukti bohong, identitasnya dibuka. Kini, redaktur pelaksana menjadi penjaga gerbang boleh tidaknya nara sumber anonim digunakan.

Ia berhak tahu identitas si nara sumber. Pewawancara, entah itu reporter, pemimpin redaksi, atau redaktur, wajib membukakan identitasnya, manakala diminta. Hirarki keredaksian kami tegaskan kembali: pemimpin redaksi punya hak veto terhadap layak tidaknya berita dengan nara sumber anonim itu diturunkan.

Sejumlah ‘’harus’’ itu kami pasang demi menjaga hak pembaca akan informasi yang terpercaya. Karena itu, kami mohon maaf kepada nara sumber, bila akhir-akhir ini wartawan kami lebih ''rewel''.

Berbagai rambu itu kelak kami satukan dengan kode etik yang tengah kami perbaiki, untuk menyesuaikan dengan situasi yang terus berkembang.

Iwan Qodar Himawan
iwan@gatra.com

*)Dimuat di GATRA nomor 39 tahun XI

No comments: