Search This Blog

Monday, October 31, 2005

Melihat Kapal di Merak


MUSIM mudik menjadi saat yang menyesakkan, bagi para pelintas pulau, pelintas kota, dan pelancong dari terminal satu ke lainnya. Darrel, Ayah, dan Mommy, menyaksikan repotnya jadi pemudik, Ahad lalu (30 Oktober 05). Berdua kami ke Merak, mengantar Mommy yang tengah inspeksi pasukannya. Sejak tiga hari sebelumnya, pasukan Mommy di TV7 bertugas melaporkan arus mudik. Ada 15 orang anak buahnya bertugas di situ. Mommy, yang punya jabatan sebagai wakil pemimpin redaksi TV7, sudah berjanji akan sesekali menengok anak buahnya.

Kebetulan, Kak Reza datang dari Yogya, dijemput papanya, Pakde Rusdi, di Stasiun Gambir. Jadilah kami berlima dalam mobil Kijang, meluncur ke Merak. Jalanan pagi itu terasa lengang. Mobil bisa berjalan sampai kecepatan 130 Kilometer/jam. Sewaktu di pintu tol, kami juga tidak perlu antre. Sepi. Padahal, menurut siaran televisi, Ahad kemarin merupakan puncak arus mudik. Apa benar ya, stasiun televisi cenderung membesar-besarkan? Hehe... biar Mommy yang menjawab.


Merak merupakan kota tempat kapal penyeberangan Jawa Sumatera berlabuh. Dari Merak, kapal menyeberangi Selat Sunda sepanjang

25 Kilometer, untuk melabuh di Bandar Laut Bakauheni, Provinsi Lampung. Tahun ini, jumlah sepeda motor tampak banyak sekali. Bahkan, ada satu sepeda motor bebek yang dipakai berempat: ayah, mommy, dan dua anaknya. Wuah... Darrel harus bersyukur, sejak lahir, ayah dan mommynya sudah punya mobil.


Dibanding lebaran tahun lalu, suasana Merak tak begitu riuh. Sekarang pemudik bisa langsung sampe di pelabuhan. Tidak seperti

dua tahun lalu, tatkala panjangnya antrean sampe dua kilometer dari pelabuhan. Om Taufik Alwie, ini kawannya ayah di kantor,

sampe perlu menginap semalam di Cilegon, karena menunggu antrean kapal.

Di Merak inilah untuk pertama kalinya Darrel melihat kapal. Sebelumnya ia hanya menyaksikan di televisi.
''Itu apa Mom?''
''Kapal. Kapal laut. Ferry,'' kata Mommy.
''Kalo itu?''
''Oh, yang kecil itu, kapal cepat. Itu, ada Pakde Rusdi dan kak Reza. Ayo dada...''
Darrel berfoto-foto. Menonton motor yang mau diseberangkan. Juga menyaksikan juru kamera TV yang tengah bertugas.

Sebetulnya, bila jembatan, atao terowongan Nusantara yang menyatukan Jawa dan Sumatera jadi dibangun, antrean seperti ini tak

perlu terjadi. Setiap tahun sekitar 25 juta orang menyeberang dari Banten ke Merak. Jumlah kendaraannya melimpah ruah. Tapi diperkirakan, pada 2040, ada 8,2 juta kendaraan per tahun bakal melintasi Selat Sunda.


Saya pernah ketemu Pak Kuntoro Mangkusubroto, yang aktif menggiatkan gagasan perlunya pembangunan terowongan Jawa-Sumatera. Ia sudah punya data lengkap di wilayah mana saja terowongan bisa dilewatkan. Bila tidak berhati-hati, pembangunan terowongan bisa mubazir. Daerah sekitar jalur Merak-Bakauheni bukanlah daerah stabil. Di situ juga terdapat Gunung Krakatau.

Saya, Mommy, dan Darrel tentu berharap, jalur penghubung Jawa-Sumatera, entah itu berupa terowongan atau jembatan di atas laut, segera dibangun. Kalau penghubung itu sudah terwujud, kami sekeluarga gampang bermain ke tempat Bude Tiwi. Bisa ketemu kak Shifa, Kak Fita, Kak Shila. Kalau harus pake ferry, wah... lama banget je...

No comments: