Search This Blog

Thursday, October 21, 2010

Blokir Internet: How Far Can You Go? (1)




Atas nama pemberantasan pornografi, Menkominfo paksa ISP menyensor Internet. Efektifkah?

Uni Z. Lubis*)


“Godaan puasa hari pertama malah dari @tifsembiring terkait pemblokiran situs secara ngawur. Tobat. Tobat”. Ini bunyi tweet @budionodarsono, pemimpin redaksi media online detik.com, yang dikirim ke dunia pengkicau pada hari Rabu, 11 Agustus 2010, pukul 11.44 wib. Ada nuansa geram. Jengkel. Kesal.
Ikhwal sepak-terjang Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyensor internet dengan memblokir situs yang dianggap bermuatan pornografi mulai diketahui publik lewat posting Budiono pukul 11.27 wib hari yang sama. “Wah, Kominfo nge-blok salah satu layanan detik.com. Dah ngawur”. Kicauan Budiono sontak menuai pertanyaan, komentar dari penghuni twitterland, jejaring sosial mikro. Semua bernada marah. Protes kepada pemerintah. Wabil khusus, protes ke Menkominfo Tifatul Sembiring.
Hari itu adalah hari pertama umat Islam di Indonesia melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan. Perilaku sabar disarankan agar ibadah khusyu. Bagi penggiat internet, nampaknya hari itu ujian kesabaran lumayan berat. Tengoklah pengakuan Budiono sore itu, beberapa jam setelah fasilitas add surfing, alias iklan detik.com diblokir. “Hari pertama puasa cuma dapat lapar dan haus. Pasrah”. Bukan cuma detik.com yang alami nasib aksesnya terblokir pisau sensor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Media online kompas.com alami juga. Mereka yang kena sayatan sensor kebablasan ini terutama yang menggunakan Internet Service Provider (ISP) alias penyedia layanan telekomunikasi Telkomsel.


Budiono pantas gusar. Iklan adalah pemasukan amat penting bagi media. Bagi media online, selain pendapatan lain-lain dari komisi penjualan tiket misalnya, iklan adalah andalan utama untuk hidup. Gangguan atas akses iklan gara-gara pemblokiran situs oleh pemerintah adalah hal yang merugikan secara bisnis, belum lagi kalau bicara soal ancaman terhadap kemerdekaan berekspresi sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 hasil amandemen di Pasal 28.

Siang itu pelanggan Telkomsel tak bisa akses iklan detik.com. “Access is denied due to security policy enforcement,” begitu kata yang tertera, sebagaimana dijelaskan pengurus pusat APJII Valens Riyadi lewat akun Twitter-nya. Mengapa niat memblokir situs dan konten porno malah salah sasaran? Ini jawaban Menkominfo Tifatul Sembiring via Twitter, 11 Agustus itu, Pk 11.40 wib. “1 hari blokir situs-situs porno DIAKUI ada kekurangan. Kalau ada yang tidak porno diblokir, harap hubungi c/p masing-masing provider.” Media detik.com lantas memuat berita berjudul “Blokir Internet: Menkominfo Cuci Tangan, Provider Cuci Piring”.
Menteri Tifatul membantah bahwa kebijakan blokir internet dilakukan karena memasuki bulan puasa. Menurutnya, pemerintah punya dasar kuat untuk memblokir internet guna melindungi dampak pornografi bagi anak-anak. “Dasarnya adalah UU Pornografi dan UU ITE,” kata Tifatul Sembiring. UU No 44/2008 tentang Pornografi memang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk memblokir penyebaran materi pornografi termasuk lewat internet.

Hal itu diatur di Pasal 18. Sedangkan UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE) Pasal 27 ayat (1) melarang penyebarluasan materi asusila melalui internet. Pelanggaran atas aturan ini diancam sanksi penjara/pidana dari 6 (enam) bulan sampai 12 tahun penjara, dan sanksi denda dari Rp 250 juta sampai Rp 6 Milyar. Menilik SE diatas, yang diancam diputus ijin, bahkan masuk penjara adalah ISP.

*)Wartawan ANTV/Anggota Dewan Pers
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari lima tulisan. Naskah ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone, terbit September 2010.

No comments: