Search This Blog

Wednesday, December 15, 2010

Yogya Memang Istimewa



MINGGU-minggu ini mata kita disibukkan oleh tontonan di televisi yang gencar menayangkan polemik soal keistimewaan Yogyakarta. Hampir semua televisi menyiarkan dengan gencar. Metro TV dan TV One, dua televisi berita 24 jam, bahkan sering membuat siaran langsung dari Yogya. Yogya, provinsi dengan penduduk 3,5 juta alias 1/60 dari total populasi Indonesia, seakan bergolak.. Duh..
Bagi saya yang memang tumbuh dan besar di Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogya memang istimewa. Saya lulus dari SD Keputran 4, sebuah sekolah yang didirikan para pangeran Kasultanan, lokasinya persis di sebelah timur Alun-alun Utara. Kalau orang Bandung atau Jakarta harus susah payah melihat Keraton Kasultanan, sewaktu SD saya tiap hari melewatinya.
Eyangnya Darrel, alias ibu mertua, punya rumah di Panembahan, sekitar 500 meter dari Keraton Yogyakarta. Malah sekarang rumah itu diperbaiki, dijadikan tempat penginapan di bagian belakang. Namanya: Omah Djokja. Sesekali Mommy Uni Lubis dan Darrel berkunjung ke Omah Djokja.





Pagelaran keraton, kalau dalam bahasa sekarang mungkin disebut sebagai hall atau tempat pentas, tiap hari saya lihat. Kalau pulang sekolah, ada kalanya saya melewat rumah para pangeran, yang disebut sebagai ndalem. Kalau melewati ndalem para beliau itu, sepeda harus kita tuntun. Kalau kita ngotot naik? Kita akan ditegur oleh warga, dan dianggap sebagai ‘’tidak tahu diri’’.
Sewaktu SD, saya memiliki teman yang keturunan pangeran. Ada RR Siti Nikandaru Chairina. RR ini kependekan dari Raden Rara, yang menunjukkan bahwa Jeng Rina –kami memanggilnya ‘’Jeng’’, untuk menunjukkan penghormatan kepadanya—adalah kerabat Sultan. Jeng Rina ini rumahnya di dekat pasar Ngasem, di bangunan yang dulu milik keraton.

Pagelaran Keraton Yogyakarta


Sewaktu SMP hingga perguruan tinggi, saya ikut perkumpulan pencak silat yang asalnya dari keraton. Nama perguruannya Krisna Murti. Latihannya di Ndalem Tejokusuman. Bagi Anda yang bukan orang Yogja, istilah ‘’Ndalem Tejokusuman’’ menunjukkan ini adalah kediaman Pangeran Tejokusumo. Gusti Tejo, demikian beliau dulu sering disebut, adalah putera Sultan Hamengku Buwono VII. Pangeran Tejokusumo dikenal sebagai salah satu pelopor semangat kerakyatan, dengan mendirikan Krida Beksa Wirama, perkumpulan tari yang mengijinkan masyarakat biasa berguru.
Di Ndalem Tejokusuman ini saya berkenalan dengan dua teman, masih cucu Pangeran Tejokusumo. Dua teman baik ini adalah RA Lintang Johar dan RA Retno .. (nuwun sewu Jeng Rento, saya lupa nama lengkap panjenengan). Jeng Lintang ini lulusan Fakultas Kedokteran Gigi UGM, sedang Jeng Retno kini bekerja di Dinas Kesehatan Yogyakarta. Saya memanggil kedua teman ini ‘’Jeng’’.
****
Ketika di SD itu saya masih melihat banyaknya bangunan keraton yang dipinjamkan untuk sekolah. Ndalem Pugeran dan Ndalem Mangkuwilayan, dipakai oleh Fakultas Kedokteran UGM sebagai rumah sakit. Ndalem Mataraman digunakan untuk laboratorium. Ndalem Mangkuyudan digunakan oleh Fakultas Kedokteran UGM untuk Rumah Sakit Ibu dan Anak. Ndalem Yudonegaran digunakan untuk Fakultas Farmasi.
Pagelaran keraton semula juga dipakai untuk Fakultas Hukum. Tetapi ketika saya di SD Keputran, Fakultas Hukum sudah punya kampus sendiri di Bulaksumur. Nah, area Bulaksumur ini adalah tanah pemberian keraton. Luas wilayahnya sekitar 125 hektare. Bangunannya diserahkan oleh keraton kepada UGM.

Salah satu rumah pangeran.


Saya pernah mendapat informasi dari salah seorang priyayi Solo yang kemudian kuliah di UGM. Si priyayi ini pernah menjadi direktur utama sebuah bank pemerintah. Katanya, sebetulnya Presiden Soekarno semula ingin mendirikan kampus UGM di Solo. Presiden Soekarno kemudian kulonuwun ke Kasunanan, untuk meminjam fasilitas keraton agar bisa dipakai perkuliahan. Namun pihak Kasunanan keberatan.
Untuk masa sekarang, keberatan itu bisa dimaklumi. Banyaknya mahasiswa akan membuat keraton terkotori. Lagi pula, perawatan gedung siapa yang menanggung?
Namun Sultan Hamengku Buwono IX ketika itu punya pandangan yang berbeda. Pendirian kampus UGM di Yogya akan membawa berkah yang besar: Yogya menjadi kota mahasiswa, pusat penelitian, dan menjadi magnet bagi kedatangan mahasiswa dari luar daerah. Maka Sultan pun dengan suka hati merelakan pagelaran dan berbagai rumah kediaman pangeran untuk perkuliahan.


Berwisata di salah satu peninggalan keraton.



Pikiran Sultan HB IX terbukti benar. Adanya UGM menjadi magnet bagi lahirnya berbagai perguruan tinggi lain. Para mahasiswa yang sudah terlanjur datang ke Yogya, tetapi tidak tertampung di UGM, bisa bersekolah di kampus lainnya. Kehadiran UGM ikut membentuk ciri khas Yogyakarta, yang kini dikenal sebagai kota yang hidup dari industri pendidikan dan industri pariwisata.
Itu semua tak lepas dari jasa Sultan HB IX, dan kemudian diteruskan para putera-puteri dan kerabatnya. Jadi wajar kan, kalau Yogyakarta memang istimewa?